Ketika Destinasi Kalimantan Tak Lagi Hanya Soal Wisata

destinasi kalimantan

Sebuah Catatan Tentang Tanah yang Digerus, Hutan yang Menyempit, dan Warga yang Terpinggirkan

Ketika kita membicarakan destinasi Kalimantan, kebanyakan dari kita mungkin membayangkan bentangan hutan yang rimbun, sungai-sungai tua yang memantulkan cahaya pagi, atau perahu kayu yang meluncur tenang di antara pepohonan rawa. Kalimantan memang punya itu semua. Tapi mari sejenak berhenti berpikir sebagai turis—dan mulai melihat sebagai manusia.

pembukaan lahan di kalimantan

Sebab di balik semua destinasi eksotis itu, ada suara-suara yang tidak terdengar. Ada jejak kaki warga yang perlahan dihapus dari tanahnya sendiri. Ada hutan yang digunduli bukan untuk jalan setapak wisata, tapi untuk jalan haul tambang batu bara. Dan bila semua ini tak diselamatkan hari ini, barangkali nanti kita hanya akan bisa berwisata di atas jejak-jejak luka.

Baca Juga : Satu Malam di Lamin – Menyimak Cerita di Rumah Panjang Suku Dayak

Konflik yang Tak Pernah Masuk Brosur Wisata

konflik di kalimantan

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak wilayah di Kalimantan—terutama Kalimantan Timur dan Tengah—mengalami lonjakan konflik agraria. Sebagian besar konflik ini berpangkal pada tumpang tindih izin antara wilayah adat, permukiman warga, dan konsesi pertambangan serta perkebunan.

Salah satu wilayah yang paling terdampak adalah Kabupaten Kutai Kartanegara dan sebagian kawasan di Penajam Paser Utara—yang kini disiapkan sebagai jantung Ibu Kota Nusantara (IKN). Tanah-tanah adat yang dahulu diwariskan turun-temurun kini mendadak berubah status di atas peta. Warga yang tak memiliki sertifikat legal atas tanah mereka, walaupun sudah menetap puluhan tahun, dianggap “tidak sah” untuk bertahan.

Di wilayah Kalimantan Tengah, warga di sekitar Barito dan Kapuas juga berhadapan dengan cerita serupa. Tanah mereka dibuka paksa untuk sawit dan tambang. Lahan yang dulunya hutan tempat menggantungkan hidup kini rata oleh alat berat, menyisakan kabut debu dan suara mesin sebagai pengganti kicau burung.

Baca Juga : Tapak Kuno Tanjung Selor – Di Mana Sejarah dan Hutan Bertemu

Antara Proyek Negara dan Kehilangan Identitas

ikn

Pembangunan memang perlu, tapi bagaimana jika pembangunan justru membunuh akar tempat ia tumbuh? Dalam proyek IKN misalnya, sebagian warga merasa tidak dilibatkan secara nyata. Mereka tidak menolak perubahan, tapi mereka ingin didengar. Mereka ingin tetap ada sebagai bagian dari masa depan, bukan hanya jadi cerita masa lalu yang diabaikan.

Di banyak tempat lain, warga adat tak hanya kehilangan tanah, tapi juga kehilangan makna dari tanah itu sendiri. Di Kalimantan, tanah bukan sekadar lahan. Ia adalah warisan budaya, tempat upacara adat, tempat kelahiran dan kematian. Ketika tanah itu hilang, maka hilang pula sebagian dari identitas.

Baca Juga : Beach House Balikpapan – Satu Hari Di Antara Laut dan Hening

Jika Tak Diselamatkan, Apa yang Tersisa untuk Dinikmati?

destinasi kalimantan - hutan hujan kalimantan

Bayangkan kalian mengunjungi Kalimantan sepuluh tahun dari sekarang. Bukannya suara sunyi hutan dan nyanyian sungai, kalian mungkin akan disambut suara truk tambang dan hamparan tanaman monokultur. Bukannya perkampungan adat, kalian hanya akan melihat pagar-pagar tinggi yang membatasi wilayah konsesi.

Destinasi Kalimantan tidak hanya terancam oleh cuaca atau musim. Ia terancam oleh keputusan-keputusan yang tidak melibatkan mereka yang tinggal di dalamnya.

Baca Juga : Goa Batu Hapu – Tapak Purba di Tengah Alam Hulu Sungai

Kita Tidak Bisa Diam Saja

kabut asap di kalimantan tengah

Sebagai penulis perjalanan, sebagai pejalan kaki, dan sebagai pecinta alam, kita tidak bisa hanya menikmati tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Artikel ini bukan untuk menolak pembangunan, tapi untuk mengajak semua orang lebih peka. Bahwa setiap destinasi indah di Kalimantan, tidak datang dari ruang kosong. Ia adalah hasil dari perjuangan banyak orang yang tetap menjaga hutannya, tanahnya, dan hidupnya.

Kalau kita mencintai Kalimantan sebagai destinasi, maka cintailah juga mereka yang menjaganya. kita bisa tetap berlibur, tetap menyelam di sungainya, tetap menulis puisi dari sabana dan hutan tropisnya, karena mereka dan kita yang menjaganya dari tangan-tangan serakah. Jika tidak, alih-alih untuk berwisata, bersiaplah mengucapkan selamat tinggal pada paru-paru dunia di pulau Kalimantan.

You Might Also Like

5 Comments

  1. Ketika Kalimantan dan Bali Bertemu – Jejak Budaya di Tengah Tanah yang Bergerak

    […] Baca Juga : Ketika Destinasi Kalimantan Tak Lagi Hanya Soal Wisata […]

  2. Potret Kalimantan — Cerita Bumi Putera dari Sela-sela yang Tak Dicari

    […] Baca Juga : Ketika Destinasi Kalimantan Tak Lagi Hanya Soal Wisata […]

  3. Loksado – Di Antara Bambu yang Mengalir dan Bukit yang Tenang

    […] Baca Juga : Ketika Destinasi Kalimantan Tak Lagi Hanya Soal Wisata […]

  4. Kampung Warna-Warni Samarinda: Cerita Baru di Tengah Kota Tua

    […] Baca Juga : Ketika Destinasi Kalimantan Tak Lagi Hanya Soal Wisata […]

  5. Bukan Sekadar Minuman Biasa, Ini 5 Alasan Kenapa Liang Teh Pontianak Selalu Diburu!

    […] Baca Juga : Ketika Destinasi Kalimantan Tak Lagi Hanya Soal Wisata […]

Leave a Reply