Ketika Kalimantan dan Bali Bertemu – Jejak Budaya di Tengah Tanah yang Bergerak

Di tanah luas Kalimantan yang rindang dan nyaris tak pernah tidur, cerita tentang pertemuan dua budaya besar tak hanya hidup di panggung seni atau festival tahunan. Ada kisah yang lahir dari perpindahan, dari luka sejarah, dan dari keinginan sederhana untuk bertahan hidup. Di sinilah budaya Kalimantan dan Bali saling bersitatap, saling menyapa, bahkan saling menyatu – meski mereka datang dari tanah yang berbeda, dari laut yang tak sama.
Jejak yang Dimulai dari Letusan


Tahun 1963, Gunung Agung di Bali meletus hebat. Tanah merekah, lahar turun dari tubuh gunung dengan murka, dan ribuan warga kehilangan rumah, ladang, bahkan anggota keluarga. Dari peristiwa itu, program transmigrasi digulirkan oleh pemerintah, membuka pintu bagi masyarakat Bali untuk bermigrasi ke wilayah-wilayah yang lebih luas dan belum padat penduduk. Kalimantan – dengan hutan lebat, sungai yang panjang, dan tanah yang subur – menjadi salah satu tujuan utama.

Warga Bali pun banyak bermukim di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Di sana, mereka mulai membangun kembali hidup. Membuka lahan, mendirikan pura, dan perlahan meletakkan identitas budaya mereka – bukan untuk menggantikan, tapi untuk hidup berdampingan.
Baca Juga : Ketika Destinasi Kalimantan Tak Lagi Hanya Soal Wisata
Kenapa Kalimantan yang Dipilih?

Pertanyaan yang sering muncul: kenapa warga Bali memilih Kalimantan sebagai tempat bermigrasi, bukan pulau lain seperti Jawa atau Sulawesi?
Jawabannya berlapis. Secara geografis dan politis, Kalimantan pada era 1960-an dianggap sebagai “pulau masa depan” oleh pemerintah Indonesia. Wilayahnya luas, penduduknya belum padat, dan banyak lahan yang dianggap “tidak terpakai” – padahal sejatinya, itu adalah wilayah adat masyarakat Dayak.
Dalam program transmigrasi nasional, Kalimantan menjadi salah satu lokasi prioritas karena dianggap strategis untuk pemerataan penduduk dan pembangunan ekonomi di luar Jawa. Pemerintah saat itu menyediakan lahan, perumahan dasar, serta fasilitas pertanian bagi para transmigran. Ini menjadi daya tarik besar bagi warga Bali yang saat itu baru saja kehilangan segalanya karena bencana alam.
Baca Juga : Satu Malam di Lamin – Menyimak Cerita di Rumah Panjang Suku Dayak
Pura di Tengah Hutan, Gamelan di Pinggir Sungai

Kini, jika kau berkunjung ke beberapa desa transmigrasi di Kalimantan, kau bisa menemukan hal yang tak terduga. Di samping ladang sawit dan hamparan ladang jagung, berdiri Pura kecil. Suara gamelan kadang terdengar di waktu-waktu tertentu, menandai upacara Galungan, Kuningan, atau piodalan sederhana.
Tapi di sisi lain, masyarakat Dayak dengan ritual adatnya yang kuat – dari tiwah, gawai dayak, hingga upacara adat kematian – tetap hidup, berjalan seiring.
Dan yang menarik, tidak sedikit warga Bali yang mulai mengenal dan menghargai upacara adat Dayak. Begitupun sebaliknya. Pertemuan budaya Kalimantan dan Bali tidak selalu dalam bentuk akulturasi yang mencolok, melainkan pada sikap saling memahami. Ada warga Bali yang membantu warga Dayak saat panen, atau sebaliknya. Ada juga anak-anak hasil pernikahan campur, tumbuh dengan dua bahasa ibu: satu dari leluhur pegunungan, satu dari tanah dewata.
Baca Juga : Tapak Kuno Tanjung Selor – Di Mana Sejarah dan Hutan Bertemu
Tantangan Tanah dan Identitas

Namun, tidak semua berjalan mulus. Kalimantan adalah tanah yang kini terus bergerak – bukan secara geologi, tapi secara ekonomi dan politik. Proyek-proyek besar seperti tambang batu bara, perkebunan sawit, hingga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) mulai menggeser banyak ruang hidup masyarakat lokal. Tanah yang dulunya luas, kini dipagari. Hutan-hutan yang dulunya menjadi ruang bersama, kini menjadi milik segelintir pihak.
Baik masyarakat adat Dayak maupun warga transmigran Bali sama-sama merasakan dampaknya. Rumah mereka digusur, tanah adat mereka tak diakui, suara mereka tenggelam dalam proposal-proposal investasi. Beberapa komunitas bahkan kehilangan akses terhadap ladang dan sumber air bersih.
Namun di tengah tekanan itu, mereka tidak tinggal diam. Ada warga Bali yang kini aktif dalam komunitas penyelamat lingkungan bersama warga Dayak. Mereka belajar kembali bahwa menjaga tanah bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal menjaga tempat yang telah menjadi rumah bersama.
Baca Juga : Beach House Balikpapan – Satu Hari Di Antara Laut dan Hening
Budaya yang Tidak Diam
Pertemuan antara budaya Kalimantan dan Bali bukan hanya tentang perbedaan – tapi tentang kemungkinan. Tentang bagaimana dua identitas bisa berjalan berdampingan, saling menyembuhkan, dan bersama melindungi ruang hidup mereka. Tidak selalu mudah. Tapi ada harapan di tengah hutan yang nyaris habis ini.
Karena sejatinya, budaya tidak diam. Ia bergerak, menyatu, kadang bertengkar, kadang berpelukan. Tapi selama manusia masih punya rasa hormat terhadap tanah yang mereka injak dan terhadap sesama, budaya tidak akan hilang – ia akan tumbuh dengan bentuk yang baru.
Dan di Kalimantan, di antara jejak tanah yang bergolak, kita bisa menyaksikan bagaimana dua dunia bisa saling menyelamatkan. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi untuk menjaga masa depan.
Letusan Gunung Agung 1963 – Luka yang Masih Hangat di Ingatan - Destinasi Bali
[…] saat itu membuat bantuan sering datang terlambat. Akhirnya, banyak warga Bali memutuskan untuk bermigrasi, mencari tanah baru, hidup baru, dan harapan […]
Potret Kalimantan — Cerita Bumi Putera dari Sela-sela yang Tak Dicari
[…] Baca Juga : Ketika Kalimantan dan Bali Bertemu – Jejak Budaya di Tengah Tanah yang Bergerak […]