Potret Kalimantan — Cerita Bumi Putera dari Sela-sela yang Tak Dicari

potret kalimantan

Bumi Putera

Pagi itu, Bumi Putera belum ingin pulang.
Kopi hitam sisa semalam masih tersisa setengah di termos kecilnya. Ia duduk di pinggiran jalan kecil, di antara pohon-pohon yang kehilangan arah—sebagian tegak, sebagian tumbang karena roda-roda proyek. Tak ada sinyal di destinasi Kalimantan. Tapi justru di situ pikirannya makin bersuara.

Ia tidak pernah menyangka, titik riset yang awalnya hanya “garis koordinat” di laptopnya, akan membawanya ke tempat-tempat yang terlalu sunyi untuk disebut destinasi. Perjalanannya dari Jakarta ke pelosok Kalimantan bukan sekadar pengumpulan data, tapi pelan-pelan menjelma jadi sesuatu yang mengubah dirinya. Ya, potret Kalimantan dari sela-sela yang tak di cari.

Bukan Jurnalis, Bukan Aktivis, Bukan Pula Petualang Profesional.

Bumi Putera bukan jurnalis, bukan aktivis, bukan pula petualang profesional.
Ia adalah mahasiswa tingkat akhir Universitas Indonesia, dari Fakultas Pendidikan Vokasi, jurusan Pariwisata.
Awalnya ia datang ke Kalimantan Timur bersama beberapa temannya. Mereka berpencar ke berbagai titik, membawa misi akademik dan proposal yang sudah dicap dosen pembimbing.

Di kampus, ia dikenal kritis dalam diskusi, vokal ketika membahas pariwisata yang inklusif dan berkelanjutan. Tapi di luar kelas, ia kadang apatis, merasa idealisme seringkali terlalu melelahkan jika dijalani sendirian.

mahasiswa UI penelitian di kalimantan

Ternyata perjalanannya dari Jakarta akan sejauh ini—bukan hanya secara geografis, tapi juga batiniah.
Yang awalnya sekadar pengumpulan data untuk keperluan akademik, berubah menjadi perjalanan menyusuri luka-luka sunyi yang tersembunyi di balik gemuruh tambang dan janji proyek raksasa.

Ia tak lagi mencatat demi angka.
Ia mulai mendengar demi jiwa.

Baca Juga : Potret Kalimantan — Cerita Bumi Putera dari Sela-sela yang Tak Dicari

Pertemuan

Bumi telah melihat banyak.
Dari tenda-tenda darurat warga yang digusur, hingga tanah adat yang dipatok tanpa ampun. Jalan besar menuju tambang batubara terasa lebih lancar daripada jalur pengungsi yang mencari tanah baru. Dan ia tahu, perjalanan ini tak bisa hanya berhenti di catatan kaki potret Kalimantan.

Hari itu, Bumi menepi. Tak ada tujuan pasti. Ia hanya berjalan, mengikuti jalan kecil yang tak pernah tercantum di peta wisata. Hingga ia bertemu Pak Janting, seorang lelaki tua dengan tatapan yang tajam namun tak lagi percaya dunia akan mendengarnya.

kakek tua pemilik ladang di kalimantan

Pak Janting adalah satu dari sedikit warga yang tetap tinggal ketika yang lain memilih pergi. Rambutnya putih keabu-abuan, kulitnya menggelap seperti tanah yang ia rawat seumur hidup. Ia tak lagi punya ladang, tapi setiap inci tanah di sekitarnya seperti menghafal langkah kakinya. Di balik tubuhnya yang kurus dan sorot matanya yang tenang, tersembunyi cerita yang terlalu banyak dikhianati—oleh janji perusahaan, oleh undangan rapat yang tak pernah benar-benar mendengar, dan oleh negara yang datang hanya saat ingin mencatat, lalu pergi membawa tanahnya dalam dokumen tanpa tanya.

Baca Juga : Ketika Kalimantan dan Bali Bertemu – Jejak Budaya di Tengah Tanah yang Bergerak

“Kau tahu, Nak? Kami tak pernah minta gedung tinggi, kami hanya minta pohon-pohon ini jangan dibunuh semua.”

Pak Janting bukan tokoh masyarakat. Bukan pula kepala adat. Tidak lebih dari seorang penjaga ladang tua yang sudah tak punya ladang lagi. Tapi dari mulutnya, mengalir sejarah yang tak dicatat.

Ia pun bercerita:
Bagaimana dulu sungai itu bening, hutan itu rumah.
Bagaimana mereka dulu saling sapa dengan suara burung, bukan deru alat berat.
Bagaimana tanah ini dulu memberi hidup, bukan dilelang kepada investor.

“Satu-satu anak muda di sini pergi. Bukan karena tak cinta kampung. Tapi karena kampungnya tak bisa lagi melindungi mereka.”

bumi putera

Kalimat itu menusuk Bumi.
Separuh kepalanya seperti pecah—migren tak tertahankan. Tapi bukan karena kurang tidur atau kelelahan.
Ini adalah migrain karena ia sadar: dunia yang dikaguminya lewat lensa travel blog, ternyata menyimpan luka yang terlalu dalam untuk dibingkai cantik.

Baca Juga : Ketika Destinasi Kalimantan Tak Lagi Hanya Soal Wisata

Antara Hening dan Ribut yang Tak Terdengar

Kalimantan tak butuh belas kasihan.
Ia butuh ruang bicara.
Dan Bumi, yang awalnya datang untuk keperluan akademik, kini berdiri di tengah dua kutub: keindahan yang dijual di brosur pariwisata, dan kenyataan yang dikubur dalam diam.

potret kalimantan

Ia menyusuri jalan pulang dengan langkah berat.
Tapi ada satu hal yang ia bawa dari pertemuannya hari itu:
Suara-suara yang nyaris hilang.
Dan mungkin, lewat catatan ini, ia bisa membuatnya bergema kembali.

Baca Juga : Satu Malam di Lamin – Menyimak Cerita di Rumah Panjang Suku Dayak

Kalimantan, Jika Esok Tak Ada Lagi

Bumi tahu, banyak orang datang ke Kalimantan untuk mencari “pengalaman”.
Mereka mendaki, menyusuri sungai, mengabadikan orangutan.
Tapi sedikit dari mereka yang bertanya:
Apakah ingin potret Kalimantan tetap seperti ini?
Atau kita hanya sedang melihat detik-detik akhir sebelum semuanya hilang?

Perjalanan ini tak berakhir dengan destinasi.
Ia berakhir di simpang rasa.
Di mana kita harus memutuskan:
Apakah kita hanya datang sebagai turis,
atau sebagai manusia yang ikut bertanggung jawab menjaga paru-paru terakhir dunia?

You Might Also Like

One Comment

  1. Loksado – Di Antara Bambu yang Mengalir dan Bukit yang Tenang

    […] Baca Juga : Potret Kalimantan — Cerita Bumi Putera dari Sela-sela yang Tak Dicari […]

Leave a Reply